Secarateori,ciri ciri emas asli jika emas itu digigit akan menunjukkan bekas goresan gigi, bekas gigtan tersebut akan semakin dalam jika emasnya merupakan emas murni 24 karat. Cara mengigit ini tentulah bukan tes yang direkomendasikan, karena selain dapat merusak gigi,menggigit emas juga bisa merusak kondisi fisik emas.
Baja AISI 4130 merupakan baja paduan rendah Low Alloy Steel yang mengandung kromium dan molibdenum. Baja ini memiliki sifat ulet atau daktil serta mempunyai faktor temperatur yang tinggi sehingga banyak digunakan dalam industri. Pada bilah turbin exhaust AISI 4130 Low Alloy Steel yang dipasang pada unit boiler pembangkit listrik batubara, ditemukan terjadinya penipisan akibat bergesekan dengan partikel udara yang menabrak bilah saat berputar. Untuk mengatasi hal tersebut maka telah dilakukan usaha meningkatkan sifat mekaniknya dengan perlakuan panas melalui proses hardening dan tempering selama 30 menit. Dari tiap proses tersebut¸ masing-masingnya di quenching dengan air dan oli. Dalam penelitian ini dibandingkan antara variasi suhu hardening 800 oC dan 900 oC dengan variasi suhu tempering 400 oC, 500 oC, dan 600 oC untuk memperoleh hasil perlakuan yang optimal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketahanan aus yang optimal diperoleh dari proses hardening pada suhu 900 oC dan tempering pada suhu 500 oC. Proses ini akan menghasilkan AISI 4130 Low Alloy Steel yang lebih tahan keausan terhadap pengaruh lingkungan dan memiliki struktur martensite-bainite dengan kandungan ferrite yang - uploaded by Hamdan Akbar NotonegoroAuthor contentAll figure content in this area was uploaded by Hamdan Akbar NotonegoroContent may be subject to copyright. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Flywheel Jurnal Teknik Mesin Untirta Vol. III, No. 2, Oktober 2017, hal. 15 – 19 15 Peningkatan Sifat Mekanik AISI 4130 Low Alloy Steel Melalui Perlakuan Panas Greida Frista1, Hamdan Akbar Notonegoro 2*, Hasanudin Gufron Fachrudin1 1Balai Besar Logam dan Mesin, Badan Penelitian dan Pengembangan Industri, KEMENPERIN, Jl. Sangkuriang 12 Dago Bandung, Indonesia 2Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Jl. Jend. Soedirman Cilegon 42435, Indonesia *Email Penulis hamdan_an NaskahDiterima 15/10/2017 NaskahDirevisi 02/11/2017 NaskahDisetujui 02/11/2017 Naskah Online 03/11/2017 Baja AISI 4130 merupakan baja paduan rendah Low Alloy Steel yang mengandung kromium dan molibdenum. Baja ini memiliki sifat ulet atau daktil serta mempunyai faktor temperatur yang tinggi sehingga banyak digunakan dalam industri. Pada bilah turbin exhaust AISI 4130 Low Alloy Steel yang dipasang pada unit boiler pembangkit listrik batubara, ditemukan terjadinya penipisan akibat bergesekan dengan partikel udara yang menabrak bilah saat berputar. Untuk mengatasi hal tersebut maka telah dilakukan usaha meningkatkan sifat mekaniknya dengan perlakuan panas melalui proses hardening dan tempering selama 30 menit. Dari tiap proses tersebut¸ masing-masingnya di quenching dengan air dan oli. Dalam penelitian ini dibandingkan antara variasi suhu hardening 800 oC dan 900 oC dengan variasi suhu tempering 400 oC, 500 oC, dan 600 oC untuk memperoleh hasil perlakuan yang optimal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketahanan aus yang optimal diperoleh dari proses hardening pada suhu 900 oC dan tempering pada suhu 500 oC. Proses ini akan menghasilkan AISI 4130 Low Alloy Steel yang lebih tahan keausan terhadap pengaruh lingkungan dan memiliki struktur martensite-bainite dengan kandungan ferrite yang tetap. Kata kunci AISI 4130 Low Alloy Steel, sifat mekanik, perlakuan panas, ketahanan aus 1. PENDAHULUAN Baja AISI 4130 merupakan baja paduan rendah Low Alloy Steel yang mengandung kromium wt. % dan molibdenum wt. %. Penambahan unsur tersebut didalam paduan baja antara lain bertujuan untuk memperbaiki sifat mekanik pada temperatur rendah atau tinggi. Sifatnya yang ulet atau daktil serta mempunyai faktor temperatur yang tinggi membuatnya banyak digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan roda kereta, poros, airframe components, ring, bilah turbin dan banyak lagi Gaul and Duquette, 1980. Dipasaran, produk baja jenis ini antara lain tersedia dalam bentuk bilet, bar, silinder, dan cor. Namun demikian, adanya unsur paduan yang ditambahkan dalam baja ini dapat menyebabkan terbentuknya senyawa intermetalik dan menghambat proses penghalusan butir Bultel and Vogt, 2010. Sehingga hal ini dapat mempengaruhi transisi fasa yang terjadi didalam baja seperti diagram TTT yang ditampilkan pada Gambar 1. Hal ini dapat mengakibatkan paduan yang diperoleh tidak sesuai harapan Abbas and Ghazanfar, 2005. Gambar 1. TTT diagram untuk AISI 4130 Low Alloy Steel Maurya and Paunikar, 2016. FLYWHEEL JURNAL TEKNIK MESIN UNTIRTA Homepagejurnal Flywheel Jurnal Teknik Mesin Untirta Vol. III, No. 2, Oktober 2017, hal. 15 – 19 16 Untuk meningkatkan sifat mekanik seperti kekerasan dan ketahanan aus pada AISI 4130 Low Alloy Steel dapat dilakukan dengan memberikan perlakuan panas antara lain menggunakan metode hardening suhu > 800 oCdan metode tempering suhu 200-700 oC Wu et al., 2015; Mubarok et al., 2016; Qian, Sharp and Rainforth, 2016. Kedua metode tersebut memerlukan waktu tahan holding time dan pendinginan cepat quenching dengan mencelupkan atau memasukkan material yang telah diberi perlakuan panas kedalam media pendingin seperti air, oli, garam atau lainnya sehingga diperoleh sifat mekanik yang sesuai dengan kondisi kerja material Hoa et al., 2007; Dini et al., 2010; Pessard et al., 2014 Gambar 2. Bilah turbin exhaust AISI 4130 Low Alloy Steel. Pada studi kasus terhadap bilah turbin exhaust AISI 4130 Low Alloy Steel Gambar 2 yang dipasang pada unit boiler pembangkit listrik batubara, ditemukan adanya penipisan yang terjadi akibat kondisi operasional. Penipisan ini terjadi akibat bergesekan dengan partikel udara yang menabrak bilah saat berputar. Untuk mengatasi hal tersebut maka perlu dilakukan usaha untuk meningkatkan sifat mekanik bilah turbin exhaust AISI 4130 Low Alloy Steel yaitu kekerasan dan ketahanan gesek agar lebih handal saat digunakan pada kondisi operasional. Dalam penelitian ini telah dilakukan usaha peningkatan kemampuan mekanik AISI 4130 Low Alloy Steel melalui perlakuan panas dengan variasi suhu hardening dan suhu tempering. 2. METODOLOGI PENELITIAN Spesimen yang berasal dari V-Block AISI 4130 Low Alloy Steel Gambar 3 produksi Balai Besar Logam dan Mesin–BPPI–KEMENPERIN memiliki komposisi elemen seperti yang tercantum pada Tabel 1. Spesimen tersebut kemudian dipotong menjadi beberapa bagian dan dibuat sampel dengan bentuk dan ukuran yang proporsional. Potongan sampel tersebut kemudian diberi label sesuai dengan perlakuan panas yang diterima dan memudahkan identifikasi yang dilakukan seperti yang ditampilkan pada Tabel 2. Tabel 1. Kandungan V-Block AISI 4130 Low Alloy Steel Sampel-sampel tersebut kemudian dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama mendapat perlakuan hardening pada suhu 800 oC dan Kelompok kedua pada suhu 900 oC. Pemanasan dilakukan selama 30 menit dan dilanjutkan dengan quenching kedalam air. Selanjutnya, tiap kelompok sampel tersebut kemudian ditemper dengan variasi suhu 400 oC, 500 oC, dan 600 oC selama 30 menit, dilanjutkan quenching kedalam oli. Sampel tanpa perlakuan DS diuji pula sebagai nilai referen. Tabel 2. Matriks sampel AISI 4130 Low Alloy Steel dan variasi Perlakuan Untuk mengidentifikasi kenaikan sifat mekanik yang terjadi setelah perlakuan panas tersebut maka kemudian dilakukan uji ketahanan aus, uji kekerasan, dan identifikasi struktur metallography terhadap permukaan sampel. Gambar 3. AISI 4130 berbentuk V-block yang digunakan sebagai sampel dalam penelitian ini. Flywheel Jurnal Teknik Mesin Untirta Vol. III, No. 2, Oktober 2017, hal. 15 – 19 17 3. PEMBAHASAN Gambar 4 memperlihatkan kurva kenaikan nilai kekerasan sampel AISI 4130 Low Alloy Steel yang telah mendapatkan perlakuan panas. Nilai tersebut merupakan nilai kekerasan hasil perlakuan relatif terhadap DS. Tampak bahwa pada umumnya terjadi peningkatan kekerasan pada kedua sampel hasil hardening yang telah ditemper. Nilai kekerasan sampel L84 dan L85 diatas sampel S94 dan S95, walau terjadi penurunan. 400 450 500 550 600-5051015Nilai Kekerasan, HRCSuhu Temper oC 800 oC 900 oCGambar 4. Nilai kekerasan dari hasil uji HRC terhadap AISI 4130 Low Alloy Steel yang telah mendapatkan perlakuan panas relatif terhadap DS. Namun pada sampel L86 nilai kekerasan tersebut turun drastis bahkan dibawah DS. Lain halnya dengan sampel S96, yang nilai kekerasannya sama dengan sampel S94. Hal ini menunjukkan bahwa proses tempering telah membuat turunnya kekerasan dari sampel hasil hardening suhu 800 oC. Pada sampel hardening suhu 900 oC, turunnya nilai kekerasan hanya terjadi pada hasil tempering di suhu 500 oC. Dari dua kelompok hardening tersebut¸terlihat bahwa perlakuan hardening dengan suhu 900 oC cenderung membuat nilai kekerasan lebih bertahan setelah melalui proses tempering dibanding suhu hardening 800 oC. Gambar 5 menampilkan kurva kehilangan massa mass loss dari hasil uji gesek tiap sampel yang telah mendapat perlakuan panas relatif terhadap sampel sebelum perlakuan. Nilai tersebut menunjukkan bahwa semakin besar nilai mass loss-nya maka semakin rendah ketahanan ausnya. Terlihat pada kurva tersebut bahwa sampel L84-86 mengalami mass loss lebih rendah dari sampel DS. Namun sampel L85 memiliki mass loss yang hampir sama dengan DS. Lain halnya dengan sampel S94, mengalami mass loss yang sedikit lebih besar dari DS. Tetapi kemudian S95 mengalami mass loss jauh lebih kecil dari semuanya dan diikuti oleh S96 yang memiliki nilai mass loss dekat dengan L86. Hasil ini menunjukkan proses tempering telah menaikkan ketahanan aus wear resistance semua sampel yang telah melewati proses hardening pada suhu 800 oC. Namun demikian¸ ketahanan aus terbaik terdapat pada sampel yang telah mengalami proses hardening pada suhu 900 oC yang telah mengalami perlakuan tempering di suhu 500 oC. 400 450 500 550 800 oC 900 oCMass Loss grSuhu Temper, oCGambar 5. Identifikasi mass loss hasil uji gesek AISI 4130 Low Alloy Steel yang telah mendapatkan perlakuan panas relatif terhadap kondisi sebelum perlakuan. Gambar 6 menampilkan kurva % populasi fasa ferrite tiap sampel yang telah mendapat perlakuan panas relatif terhadap sampel sebelum perlakuan. Terlihat pada kurva tersebut populasi ferrite L84-85-86 jumlahnya lebih banyak dibanding DS. Walau pada L84 jumlah populasi ferrite dibawah S94, namun mencapai nilai tertinggi pada L85 yang diikuti penurunan pada L86. Sementara itu, jumlah populasi S95-96 hampir sama dengan DS. Hasil ini memperlihatkan bahwa proses hardening pada suhu 800 oC telah menaikkan populasi ferrite walau sudah diberi perlakuan tempering. 400 450 500 550 60005101520253035Populasi Fasa Ferrite, %Suhu Temper oC 800 oC 900 oCGambar 6. Identifikasi populasi fasa ferrite pada AISI 4130 Low Alloy Steel yang telah mendapatkan perlakuan panas relatif terhadap populasi sebelum perlakuan. Berbeda halnya dengan hasil hardening pada suhu 900 oC, proses tempering telah mengembalikan populasi ferrite ke kondisi awal. Nampak pula bahwa besarnya populasi ferrite lebih dominan terbentuk dari perlakuan Flywheel Jurnal Teknik Mesin Untirta Vol. III, No. 2, Oktober 2017, hal. 15 – 19 18 hardening pada suhu 800 oC dibandingkan dengan perlakuan hardening pada suhu 900 oC. Untuk memperkuat hasil yang telah diperoleh dari berbagai pengujian mekanik, telah dilakukan pula identifikasi fasa terhadap permukaan sampel. Hasil metalografi terhadap permukaan sampel DS ditampilkan pada Gambar 7. Kontur dari permukaan sampel DS menunjukkan adanya fasa mikro acicular ferrite dan bainit. Gambar 7. Hasil metalografi permukaan AISI 4130 Low Alloy Steel sebelum mendapatkan perlakuan panas. Kontur tesebut menunjukkan fasa mikro acicular ferrite dan bainit. Gambar 8. Hasil metalografi permukaan AISI 4130 Low Alloy Steel hasil hardening pada suhu 800 oC dan telah melewati proses tempering pada suhu 400 oC, 500 oC, dan 600 oC. Dari fasa martensite L84 menjadi ferrite-sphereoid sementit L85, lalu muncul sedikit fasa martensite L86. Pada sampel hardening 800 oC yang telah mengalami proses tempering pada suhu 400 oC, 500 oC dan 600 oC yang ditampilkan pada Gambar 8, menunjukkan terjadinya transformasi fasa pada struktur baja dari fasa martensite L84 menjadi ferrite-sphereoid sementit L85, lalu muncul sedikit fasa martensite L86. Perubahan struktur ini mengakibatkan turunnya nilai kekerasan pada baja tersebut Elmer et al., 2004; Zhang et al., 2015. Pada sampel hardening 900 oC yang telah mengalami proses tempering pada suhu 400 oC, 500 oC dan 600 oC yang ditampilkan pada Gambar 9, menunjukkan terjadinya transformasi fasa pada struktur baja dari fasa martensite-pearlite S94 menjadi martensite-bainit S95, lalu menjadi martensite-pearlite-spheroid sementit yang membentuk permukaan kasar S96. Perubahan struktur ini telah membuat nilai kekerasan pada sampel tersebut meningkat. Gambar 9. Hasil metalografi permukaan AISI 4130 Low Alloy Steel hasil hardening pada suhu 900 oC dan telah melewati proses tempering pada suhu 400 oC, 500 oC, dan 600 oC. Dari fasa martensite-pearlite S94 menjadi martensit-bainit S95, lalu menjadi martensite-pearlite-spheroid sementit S96. Apabila fasa-fasa tersebut dihubungkan dengan hasil pengujian sifat mekanik, kehadiran fasa ferrite-sphereoid sementit dengan kemunculan sedikit fasa martensite telah mejadi penyebab turunnya nilai kekerasan yang dimiliki oleh AISI 4130 Low Alloy Steel. Adanya fasa martensite-pearlite membuat AISI 4130 Low Alloy Steel tidak tahan gesek. Sehingga dibutuhkan martensite-bainit untuk membuat AISI 4130 Low Alloy Steel yang lebih tahan aus. Dari serangkaian hasil pengujian diatas, diperoleh informasi bahwa untuk mendapatkan bilah turbin AISI 4130 Low Alloy Steel yang lebih tahan aus terhadap pengaruh lingkungan kerja maka sampel S95 menjadi pilihan terbaik. Sampel ini akan menghasilkan AISI 4130 Low Alloy Steel yang memiliki struktur martensite-bainite dengan kandungan ferrite yang tetap. Flywheel Jurnal Teknik Mesin Untirta Vol. III, No. 2, Oktober 2017, hal. 15 – 19 19 4. KESIMPULAN Pada bilah turbin exhaust AISI 4130 Low Alloy Steel ditemukan adanya penipisan akibat kondisi operasional. Usaha peningkatan kemampuan mekanik tersebut dilakukan dengan memberikan perlakuan panas seperti pada sampel S95. Proses ini akan menghasilkan AISI 4130 Low Alloy Steel yang memiliki struktur martensite-bainite dengan kandungan ferrite yang tetap. Material ini memiliki sifat lebih tahan terhadap keausan akibat pengaruh lingkungan. 5. UCAPAN TERIMA KASIH Terimakasih kepada Balai Besar Logam dan Mesin BBLM-BPPI – KEMENPERIN dan juga kepada Jurusan Teknik Mesin UNTIRTA yang telah mendukung penelitian ini. 6. DAFTAR PUSTAKA Abbas, G. and Ghazanfar, U. 2005 Two-body abrasive wear studies of laser produced stainless steel and stainless steel + SiC composite clads’, Wear, 2581-4 SPEC. ISS., pp. 258–264. doi Bultel, H. and Vogt, J. B. 2010 Influence of heat treatment on fatigue behaviour of 4130 AISI steel’, Procedia Engineering. Elsevier, 21, pp. 917–924. doi Dini, G., Najafizadeh, A., Monir-Vaghefi, S. M. and Ueji, R. 2010 Grain size effect on the martensite formation in a high-manganese TWIP steel by the Rietveld method’, Journal of Materials Science and Technology, 262, pp. 181–186. doi Elmer, J. W., Palmer, T., Babu, S. S., Zhang, W. and DebRoy, T. 2004 Direct observations of austenite, bainite, and martensite formation during arc welding of 1045 steel using time-resolved X-ray diffraction’, Welding journal, 839, p. 244. Available at Gaul, D. J. and Duquette, D. J. 1980 The effect of fretting and environment on fatigue crack initiation and early propagation in a quenched and tempered 4130 Steel’, Metallurgical Transactions A, 119, pp. 1555–1561. doi Hoa, N. Q., Chau, N., Yu, S. C., Thang, T. M., The, N. D. and Tho, N. D. 2007 The crystallization and properties of alloys with Fe partly substituted by Cr and Cu fully substituted by Au in Finemet’, Materials Science and Engineering A, 448-451, pp. 364–367. doi Maurya, S. and Paunikar, A. 2016 Automotive Fasteners Defects and Failure Analysis’, March. doi Mubarok, N., Notonegoro, H. A., Thosin, K. A. Z. and Manaf, A. 2016 The mechanical properties of austenite stainless steel 304 aft er structural deformation through cold work’, in AIP Conference Proceedings. doi Pessard, E., Abrivard, B., Morel, F., Abroug, F. and Delhaye, P. 2014 The effect of quenching and defects size on the HCF behaviour of Boron steel’, International Journal of Fatigue. Elsevier Ltd, 68, pp. 80–89. doi Qian, F., Sharp, J. and Rainforth, W. M. 2016 Characterisation of L21-ordered Ni2TiAl precipitates in FeMn maraging steels’, Materials Characterization. Elsevier Inc., 118, pp. 199–205. doi Wu, Z. Q., Ding, H., An, X. H., Han, D. and Liao, X. Z. 2015 Influence of Al content on the strain-hardening behavior of aged low density Fe-Mn-Al-C steels with high Al content’, Materials Science and Engineering A, 639, pp. 187–191. doi Zhang, X., Hickel, T., Rogal, J., Fähler, S., Drautz, R. and Neugebauer, J. 2015 Structural transformations among austenite, ferrite and cementite in Fe-C alloys A unified theory based on ab initio simulations’, Acta Materialia. Acta Materialia Inc., 99, pp. 281–289. doi Flywheel Jurnal Teknik Mesin Untirta Vol. III, No. 2, Oktober 2017, hal. 15 – 19 20 ... Simulasi juga dapat mengurangi terpakainya material tambahan karena sudah diatasi pada proses desain dan simulasi. Kekuatan frame struktur rangka akan membantu fungsi kerja mesin dengan baik [4] [5]. ...Lathifa Putri AfisnaIrfan Dafa DenaraEko PujiyuliantoVicky F SanjayaCow dung drying machine is used to overcome problems in processing cow dung. The type of drying machine selected is a rotary dryer type which rotates a drum or cylinder to stir the object being dried. A strong framework is needed to support the components of the dryer so that in its manufacture a static load analysis is needed so that the frame can support the load it will receive. The purpose of this research is to design, simulate and analyse the maximum stress and displacement in the frame structure of the rotary dryer using the finite element method in Solidwork. The simulation results show that the maximum stress supported by the engine frame is and the maximum displacement is The maximum stress value obtained is smaller than the yield stress of the frame material. This value indicates that the design of the rotary dryer machine frame structure is safe to proceed to the production stage. Mesin pengering kotoran sapi digunakan untuk mengatasi masalah dalam pengolahan kotoran sapi. Jenis mesin pengering yang dipilih adalah tipe rotary dryer yang memutar drum atau silinder untuk mengaduk benda yang dikeringkan. Diperlukan kerangka yang kuat untuk menopang kompone-komponen mesin pengering sehingga dalam pembuatannya dibutuhkan analisis beban statis agar kerangka tersebut mampu menopang beban yang akan diterimanya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendesain, mensimulasi dan menganalisa tegangan maksimum serta displacement pada struktur rangka mesin rotary dryer dengan metode elemen hingga pada Solidwork. Hasil simulasi menunjukkan tegangan maksimum yang ditumpu rangka mesin sebesar 7,115×105The 304 stainless steel SS type is widely used in oil and gas operations due to its excellent corrosion resistance. However, the presence of the fine sand particles and H2S gas contained in crude oil could lead the erosion and abrasion in steel. In this study, cold rolled treatments were conducted to the 304 SS in order to increase the wear resistance of the steel. The cold work has resulted in thickness reduction to 20%, 40% and 60% of the original. Various microstructural characterizations were used to analyze the effect of deformation. The hardness characterization showed that the initial hardness value increased from 145 HVC to 395 HVC as the level of deformation increase. Further, the wear resistance increased with the deformation rate from 0% to 40% and subsequently decreased from 40% to 60% deformation rate. Microstructural characterization shows that the boundary change to coincide by 56 µm, 49 µm, 45 µm, and 43 µm width and the grain go to flatten and being folded like needles. The effect of deformation on the grain morphology and structure was also studied by optical metallography and X-Ray Diffraction. It is shown that the deformation by means of a cold rolled process has transformed the austenite structure into martensitic Zhang T. HickelJutta RogalJörg NeugebauerStructural transformations in Fe-C alloys are decisive for the mechanical properties of steels, but their modeling remains a challenge due to the simultaneous changes in Fe lattice and redistribution of C. With a combination of the orientation relationships between austenite, ferrite and cementite, we identify a metastable intermediate structure MIS, which can serve as a link between the three phases. Based on this framework, different mechanisms depending on the local conditions C concentration, strain, magnetism are revealed from ab initio nudged elastic band simulations, which allow us to construct a unified theory for the structural transformations among austenite, ferrite and Time Resolved X-Ray Diffraction TRXRD experiments were performed during stationary gas tungsten arc GTA welding of AISI 1045 C-Mn steel. These synchrotron-based experiments tracked, in real time, phase transformations in the heat-affected zone of the weld under rapid heating and cooling conditions. The diffraction patterns were recorded at 100 ms intervals, and were later analyzed using diffraction peak profile analysis to determine the relative fraction of ferrite and austenite phases in each diffraction pattern. Lattice parameters and diffraction peak widths were also measured throughout the heating and cooling cycle of the weld, providing additional information about the phases that were formed. The experimental results were coupled with a thermofluid weld model to calculate the weld temperatures, allowing time-temperature transformation kinetics of the phase transformation to be evaluated. During heating, complete austenitization was observed in the heat affected zone of the weld and the kinetics of the phase transformation were modeled using a Johnson-Mehl-Avrami JMA approach. The results from the 1045 steel weld were compared to those of a 1005 low carbon steel from a previous study. Differences in austenitization rates of the two steels were attributed to differences in the base metal microstructures, particularly the relative amounts of pearlite and the extent of the allotriomorphic ferrite phase. During weld cooling, the austenite transformed to a mixture of bainite and martensite. In situ diffraction was able to distinguish between these two non-equilibrium phases based on differences in their lattice parameters and their transformation rates, resulting in the first real time x-ray diffraction observations of bainite and martensite formation made during Bultel VogtThe 4130 steel is widely used in petroleum and gas industry. During the use, it can be exposed to high temperatures for long duration as well as to severe cyclic loading as a consequence of start and shut down procedure. Both have an effect on microstructure and on mechanical strength, especially fatigue resistance. The goal of this study is to characterize the influence of a thermal treatment on high temperature fatigue behaviour of this material has been investigated in its as-received condition and after a high temperature heat treatment around 1000 °C and slowly cooled down in calm air. The microstructure changes from a bainitic to a ferrito-pearlitic one. The fatigue tests are conducted at 450 °C under total strain control ranging from Δεt= to It is shown that the ferrito pearlitic steel exhibits a primary and secondary hardening while the bainitic one is ore stable after the initial hardening. The fatigue resistance is better for the ferrito pearlitic steel than for the bainitic steel when plastic strain variation is considered but the conclusion inverses with the cyclic stress amplitude. Crack nucleation as well as crack growth were found to be promoted in the bainitic structure, crystallization and magnetic properties of ribbons obtained by first making amorphous ribbons and then objecting them to a crystallization annealing have been published elsewhere by us previously. In the present work the soft magnetic ribbons numbers indicate at.%, x=1–5 are prepared by fast quenching on a single copper wheel. X-ray diffraction patterns show that the as-cast samples are amorphous. Differential scanning calorimetry analysis indicates that the crystallization temperature of the α-FeSi phase is a little higher than that of pure Finemet. With the same annealing conditions, the crystallization volume fraction decreases with increasing Cr content substituted for Fe. Hysteresis loops of as-cast samples measured by Permagraph show that domain walls are pinned. After appropriate annealing, the ultrasoft magnetic properties of nanocomposite materials are established. The magnetic entropy change, ΔSm, of studied samples has been determined, and a giant magnetocaloric effect is found. Our materials could be considered as promising magnetic refrigerants working at high temperatures several hundreds °C.This work investigates the effect of natural and artificial surface defects and quenching on the fatigue strength of a Boron steel 22MnB5. A vast experimental campaign has been undertaken to study the high cycle fatigue behaviour and more specifically the fatigue damage mechanisms observed in quenched and untreated materials, under different loading conditions and with differents artificial defects sizes from 25 μm to 370 μm radius. In order to test the sheet metal in shear an original test apparatus is used. The critical defect size is determined to be 100 ± 50 μm. This critical size does not appear to depend on the loading type or the microstructure of the material ferritic–perlitic or martensitic. However, for large defects, the quenched material is more sensitive to the defect size than the untreated material. For a defect size range of 100–300 μm the slope of the Kitagawa–Takahashi diagram is approximately −1/3 and −1/6 for the quenched and untreated materials respectively. A probabilistic approach that leads naturally to a probabilistic Kitagawa type diagram is developed. This methodology can be used to explain the relationship between the influence of the heat treatment and the defect size on the fatigue behaviour of this J. Gaul D. J. DuquetteFretting fatigue studies were performed on quenched and tempered 4130 steel in laboratory air and in argon as functions of relative slip displacement, normal pressure and applied cyclic stress. Significant reductions in fatigue resistance were observed at all stress levels and increased with increasing normal pressures. However, a minimum in resistance was observed for relative slip magnitudes of 20 to 30 μm. Inert environments improve fatigue resistance under fretting conditions. Metallographic observations indicated that subsurface cracking was generally observed and that stress concentrations associated with this cracking resulted in deviations to and away from the faying surfaces. Fretting cracks which deviated into the alloy become initiated fatigue cracks. A mechanical model is proposed for fretting induced fatigue crack initiation which suggests that this phenomenon is a simple extension of the basic fretting abrasive wear studies of stainless steel and its composite with SiC powder are reported in the present paper. The alloy and composite clads were produced on En 3b mild steel substrates using a 2 kW CW CO2 laser as a heat generating source. The cladding material was injected into the laser produced melt pool in the form of fine powder using a pneumatic powder delivery system. The clad formed were generally uniform with high hardness and wear resistance with low dilution from the substrate. The hardness and wear resistance of the alloy clad surfaces were markedly increased with the inclusion of SiC particles in the cladding mixture. In the present studies instead of using the conventional pin-on-disc method of wear measurement, a more realistic and practical wear testing procedure was adapted. The wear-testing machine used was capable of measuring wear of three comparatively larger 25 mm × 25 mm × 10 mm clad samples by abrading simultaneously against a rotating alumina disc.
Stabilizermatsunaga yang asli dikatakan yang terbaik di karenakan berdasarkan pengalaman konsumen yang pernah memakainya, biasanya juga lifetimenya sangat lama dan masi berfungsi dengan baik sesuai harapan mereka, rata-rata konsumen yang mencari voltage stabilizer Matsunaga adalah konsumen yang telah menggunakan Stabilizer tersebut kurang lebih dari 7 tahun, bahkan ada juga yang pernah kami wawancarai lebih lama lagi iyalah kurang lebih dari 10 tahun dan sampai sekarang belum pernah ada
Stainless steel mungkin menjadi salah satu jenis logam yang tidak asing lagi di telinga kita. Beberapa perabotan dan perlengkapan rumah tangga menggunakan stainless sebagai material utamanya. Contohnya saja seperti panci, wajan, pisau dan lain sebagainya terbuat dari bahan stainless. Stainless steel juga sering diaplikasikan pada konstruksi rumah seperti railing tangga, garasi atau bahkan pagar. Karena fungsinya tersebut, maka stainless steel menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Banyaknya penggunaan stainless steel tidak hanya memberikan dampak positif saja. Tetapi juga dibarengi dengan dampak negatif, yaitu memicu timbulnya limbah. Stainless steel termasuk sebagai bagian dari limbah besi dan logam. Ini merupakan jenis limbah yang berbahaya karena memiliki sifat reaktif dan korosif. Sebelum membahas lebih jauh mengenai macam-macam limbah besi dan logam. Terlebih dahulu kita akan mengenal lebih jauh mengenai ciri stainless asli, serta jenis-jenis dan kegunaannya. Stainless Steel Martensitic Jenis stainless steel yang pertama adalah stainless steel martensitic. Ini merupakan jenis stainless yang memiliki kandungan krom yang lebih tinggi, yakni hingga 12 % sampai dengan 14%. Martensitic stainless steel terdiri dari perpaduan 1 % kromium dan 35% karbon. Martensitic stainless steel memiliki ciri khas yaitu sifatnya yang tahan karat dan memiliki daya tahan tinggi. Jika Anda ingin tahu jenis stainless steel untuk pisau, maka martensitic tersebut merupakan pilihan yang tepat. Stainless martensitic dibagi menjadi beberapa tipe, yaitu Stainless Steel Martensitic Tipe 410 Tipe stainless steel ini memiliki kandungan krom sebanyak 13% dan karbon sebanyak 0,15%. Tipe ini umumnya digunakan untuk membuat baut, bushing dan katup pompa. Stainless Steel Martensitic Tipe 416 Stainless tipe 416 juga memiliki kandungan krom sebanyak 13% dan 0,15% kandungan karbon. Meskipun secara garis besar hampir sama dengan tipe 410 namun jenis stainless steel ini memiliki tambahan sulfur atau belerang. Tipe tersebut sering digunakan untuk membuat katup, gear dan baut. Stainless Steel Martensitic Tipe 431 Stainless steel tipe 431 merupakan stainless steel dengan kandungan krom sebanyak 17%. Jenis ini terbuat dari 2,45% nikel dan 0,15 karbon maksimum. Stainless steel tipe tersebut biasanya digunakan untuk membuat poros baling-baling dan juga turbin generator. Stainless Steel Ferritic Ferritic merupakan jenis stainless steel yang memiliki ketahanan terhadap suhu tinggi dan memiliki sifat anti korosi. Namun meskipun demikian, stainless steel ferritic penggunaannya terbatas karena sulit ditempa. Ferritic stainless steel dibedakan menjadi dua jenis, yaitu Stainless Steel Ferritic Tipe 409 Tipe 409 merupakan tipe ferritic yang terdiri dari 11% krom dan juga titanium. Jika Anda sedang mencari jenis stailess steel untuk knalpot, maka tipe ferritic 409 adalah pilihan yang tepat. Ferritic tipe 409 memiliki perlindungan anti korosi dan oksidasi. Penggunaan tipe stainless tersebut seringkali digunakan untuk membuat knalpot, peralatan rumah tangga dan juga pertanian. Stainless Steel Ferritic Tipe 410S Tipe 410S memiliki kandungan titanium, colombium dan juga karbon rendah. Ferritic tipe 410S juga memiliki ketahanan suhu yang tinggi, sehingga bisa di las tanpa khawatir akan retak. Penggunaan stainless steel tipe ini pada umumnya ditemukan pada industri minyak, pertambangan, dan petrokimia. Stainless Steel Austenitic Stainless steel austenitic memiliki kandungan nikel sebesar 8 sampai 20% dan juga kandungan krom sebanyak 17 sampai 25%. Stainless steel austenitic merupakan tipe yang cocok untuk suhu rendah, sehingga tidak dapat dikeraskan menggunakan bantuan panas. Jenis stainless steel tersebut biasanya digunakan untuk keperluan arsitektur. Jadi untuk Anda yang sedang mencari jenis stainess steel untuk pagar, maka tipe austenitic merupakan pilihan yang tepat. Austenitic juga dibedakan menjadi beberapa tipe, diantaranya yaitu Stainless Steel Austenitic Tipe 303 Austenitic tipe 303 biasa digunakan untuk membuat mur, baut dan juga beberapa peralatan komponen listrik. Stainless Steel Austenitic Tipe 304 Jenis stainless 304 merupakan jenis stainless steel yang biasa digunakan untuk peralatan pengolahan makanan dan tempat penyimpanan. Stainless Steel Austenitic Tipe 347 Austenitic tipe 347 cocok untuk penggunaan pada air tawar, namun tidak cocok digunakan untuk air laut. Tipe tersebut memiliki kandungan bahan yang ekonomis dan juga memiliki kandungan niobum. Stainless Steel Austenitic Tipe 316 Stainless steel tipe 316 cocok digunakan untuk instalasi di laut. Tipe jenis tersebut memiliki sifat anti korosi karena mengandung molibdenum sebanyak 2 sampai 3%. Stainless Steel Austenitic Tipe 317 Stainless steel tipe 317 hampir sama dengan tipe 316, hanya bedanya stainless steel tersebut memiliki kandungan molibdenum sebanyak 3 sampai 4% lebih tinggi. Sehingga tidak hanya cocok untuk instalasi laut, tetapi juga cocok untuk temperatur dingin. Stainless Steel Duplex Stainless steel duplex merupakan tipe stainless steel yang terdiri dari baja austenitic dan juga ferritic. Perpaduan keduanya menghasilkan produk dengan kromium yang tinggi. Stainless steel duplex merupakan baja yang lebih resistan korosi, tahan asam, tahan panas dan juga dapat dipotong menggunakan alat las. Berdasarkan tipenya duplex stainless steel dibedakan menjadi tiga jenis. Berikut ini ulasan lengkapnya Stainless Steel Duplex Tipe 2010 Duplex tipe 2010 dimanfaatkan untuk berbagai pengolahan kimia. Hal ini dikarenakan sifatnya yang tahan terhadap korosi dan memiliki kekuatan tinggi. Stainless Steel Duplex Tipe 2206 Tipe 2206 biasanya digunakan untuk pengolahan kimia seperti penyimpanan serta eksplorasi minyak dan gas. Stainless Steel Duplex Tipe 2507 Tipe yang satu ini juga digunakan untuk eksplorasi minyak dan gas serta digunakan untuk pengendalian gas buang. Itulah tadi beberapa contoh dan jenis-jenis stainless steel yang biasanya digunakan di sekitar kita. Secara garis besar, stainless steel adalah sejenis baja tahan karat. Namun ia yang memiliki daya tahan yang lebih tinggi dibandingkan dengan besi dan juga baja biasa. Bijak Mengolah Limbah Stainless Steel Bersama Wasteship SHP Penggunaan stainless steel sangat banyak dalam kehidupan sehari-hari. Mulai dari perabotan rumah tangga, alat-alat memasak hingga untuk kebutuhan konstruksi pun menggunakan stainless steel sebagai materialnya. Namun karena banyaknya penggunaan stainless steel, ini juga memberikan dampak negatif. Salah satunya adalah timbulnya limbah besi sebagai salah satu limbah berbahaya yang memberikan dampak bagi lingkungan. Limbah besi dan logam merupakan jenis limbah yang bisa didaur ulang. Artinya, dapat diolah kembali dan dibentuk menjadi sebuah barang baru. Jadi, jika memiliki sampah berbahan stainless, jangan dibuang begitu saja. Tetapi sebaiknya dioleh terlebih dahulu atau dijadikan sebagai barang daur ulang. Selain melakukan pengolahan secara mandiri, mempercayakan pekerjaan mengolah limbah pada pihak ketiga juga tidak ada salahnya. Nah, Wasteship Sinar Hidayah Putra merupakan pilihan yang tepat untuk kebutuhan tersebut. Wasteship Sinar Hidayah Putra melayani pengelolaan limbah, baik limbah besi, limbah industri maupun limbah B3. Dengan pengelolaan limbah yang tepat, tidak hanya membuat lingkungan menjadi lebih bersih, namun juga menjaga bumi agar tetap lestari. Dan tentu saja bumi juga terhindar dari dampak buruk pencemaran lingkungan akibat limbah stainless steel.
. 103 486 478 202 165 56 292 415
ciri ciri stainless steel asli